Hari ini adalah hari terakhir aku melihat 'tanda lahir' yang sering kunamai "my choco chip" karena bentuk dan warnya yang begitu mirip. Dia telah menemani dan menghias wajahku sejak aku lahir tepat di sebelah kiri atas bibirku. Awalnya aku tidak merasa terganggu karenanya meskipun semakin aku bertambah besar dan dewasa, ia pun mengikuti bertambah besar juga. Hari-hariku lalui bersamanya. Orang-orang bahkan mudah mengenal dan mengingatku karena si choco chipku.
Hingga suatu ketika, saat aku berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit, sang dokter pun menganjurkan agar diangkat atau dalam bahasa medinya di eksisi. Eksisi adalah cara yang paling tepat untuk membuang choco chip dari wajahku. Ada rasa sedih yang mencuat dalam batinku, apakah aku harus membuangnya sementara ia sudah sangat melekat dalam diriku.
Aku kembali ke rumah dan mencoba berpikir ulang. Shalat istikharah pun aku tunaikan. Aku tidak mau nantinya, keputusan yang aku ambil akan berdampak tidak baik bagiku.
Keesokan harinya, aku pun memantapkan pilihanku untuk dengan rela hati membuang si choco chip. Aku pun menghubungi dokter dan meminta waktu kapan bisa dilakukan tindakan. Sang dokter pun memintaku untuk datang keesokan harinya.
Aku pikir jalan atau prosesnya akan berjalan mulus, tapi ternyata tidak. Lika-liku pun aku lalui, kalau dihitung-hitung sudah 3 kali aku gagal dioperasi karena berbagai alasan. Mulai dari menunggu berjam-jam agar bisa bertemu dengan dokter, hingga kejadian-kejadian lainnya yang membuatku harus banyak bersabar. Gagal ke I karena aku tidak bawa uang cash dalam jumlah yang banyak untuk biaya operasi dan rumah sakit. Pada awal-awal konsul, sang dokter hanya bilang, kemungkinan biayanya sekitar 800-1 juta. Saat aku sudah mau dioperasi, si dokter bertanya kembali, berapa uang yang kamu siapkan? Aku jawab "1,5 jt dok". Dia pun menjawab lagi, spertinya itu tidak cukup. Nantinya itu hanya untuk biaya rumah sakit seperti sewa ruang operasi, sewa alat, bahan, dll. Dalam hatiku berkata, kemarin dokter ini mengatakan tidak seperti itu, aku hanya disuruh siapkan dana 800-1 juta. Aku pun mulai gelisah karena dana yang dibawa pas-pasan. Alhasil hari itu, batal..tidak jadi operasi karena maslah uang.
Gagal ke II karena aku tidak bawa keluarga atau teman yang menjadi pendamping dan penandatangan form persetujuan operasi. Sama halnya dengan yang diatas, sang dokter pun tak ada memberi pesan sebelumnya bahwa ketika operasi harus bawa teman/keluarga. Dalam pikiran saya, operasi minor seperti ini tak lah harus didampingi keluarga, jadi aku pun datang sendirian. Yang parahnya lagi, dokter dan perawat meminta harus ada keluarga yang mendampingi pada saat aku sudah masuk ke ruang khusus operasi dan sudah memakai pakaian operasi.
Di dalam ruangan itu aku bertanya-tanya, apakah operasi minor sperti itu harus dilakukan dalam ruangan operasi yang sbesar dan selengkap ini? Pantas saja biaya yang ditawarkan oleh si dokter lumayan mahal. ya iyalah..ruang operasinya aja mesti sperti ini? Namun, karena sudah terlanjur basah dan berada di dalam ruangan itu, aku pun tak berani komentar apa-apa. 10 Menit kemudian, aku didesak agar secepatnya meminta suadara/teman datang ke rumah sakit. Aku pun sontak saja menghubungi teman terdekatku yang sudah kuanggap seperti adik sendiri yang memang sudah berjanji akan datang pada saat aku dioperasi.
Namun karena pada jam tersebut, si adik ada acara di suatu tempat, ia pun belum jadi datang. Pada saat aku menghubunginya, Si adik pun cepat-cepat bergerak menuju ke rumah sakit. Namun pada saat itu, ternyata jalanan sangat macet. Sang dokter pun selalu bertanya, bagaiamana? Masih lama lagi ga? Kalau masih lama, kita batalkann saja ya, saya masih ada jadwal visit lagi. Dalam hatiku mulai gondok sama tindakan dokter, bukannya bilang dari kemarin-kemarin, kalau tau dari awal kan sudah bisa mempersiapkan. Lagian logikanya, mana ada pasien diumah sakit manapun yang mau divisit pada saat jam sudah menunjukkan jam 21.30 malam. Jika dia memang dokter yang baik dan perhatian ke pasiennya, sejak dari awal dia harus memberi tahu apa2 saja yang harus disiapkan. Saat sudah begini, malah aku yang disalahkan. Desakan-desakan selalu dilontarkannya, sembari aku berulang-ulang menelfon si adik sudah sampai mana. Alhasil, karena saking gondoknya, aku bilang saja yasudahlah dokter, kita batalkan saja malam ini. Sang dokter pun mengiyakan dan menjanjikan agar dilanjutkan keesokan harinya.
Gagal ke III pun berlanjut. Meskipun sebenarnya aku sudah sangat gondok sama si dokter, tapi aku berusaha mentolerirnya dan memakluminya. Selain menjaga perasaan si dokter, aku juga tidak mungkin membatalkan janji. Keesokan harinya, aku hubungi kembali si dokter dan mengatakan kalau aku bersedia melanjutkan operasi di malam itu. Namun, tahukah apa jawabannya? "Maaf, malam ini saya banyak pekerjaan, jadi tidak sempat mengoperasi"
Kegondokanku semakin bertambah dan menjadi-jadi. Aku cuma menjawab "baik dok"
Selang waktu 2 hari, tak ada juga kabar dari sang dokter. Lalu aku pun memutuskan untuk mengganti dokter. Untungnya aku berhubungan baik dengan salah satu dokter bedah. Beliau adalah dokter yang menjadi donatur di organisasi yang sedang aku geluti saat ini. Jadi, beliau juga sudah mengenalku dengan baik. Kuberanikan diri untuk menelfon dan berkonsultasi, dan alhamdulillah beliau menyanggupi dan bersedia mengoperasi.
Prosesnya tak seribet dan sekompleks bila dibandingkan dengan dokter yang pertama. Tanggal dan jam operasi ditentukan. Pada saat hari H, jadwal operasi pun ontime. Bukan diruangan operasi yang super ribet dengan administrasi yang super ribet pula, tapi di operasi ruang poli, aku tinggal berbaring, 30 menit kemuadian..selesaiii.. :) Dalam hati aku bergumam, kenapa ga dari dulu aja aku langsung berkonsultasi ke dokter ini? :)
Benar dalam pikiranku, operasi minor seperti ini kan tidak mesti harus diruangan operasi khusus. Sampai-sampai timbul prasangka tidak baikku kepada dokter yang pertama, apakah dia bertindak seperti agar ia memperoleh banyak masukan "uang"?? Astagfirullah..kubuang jauh-jauh prsangka itu.
Yang terpenting sekarang aku sudah berhasil mengoperasi si choco chipku. Dengan jalan yang dimudahkan, dan dengan dana yang tak terlalu besar sebesar yang pernah diminta oleh dokter pertama.
Pelajaran ke depannya, kalau mau operasi atau tindakan medis apapun, cobalah melakukan komparasi atau perbandingan dengan dokter lain, sehingga kita bisa memilih yang mana yang paling sesuai dengan kita.
Untuk choco chipku tersayang, aku cuma bisa bilang..meskipun kau tak ada lagi bersamaku, tapi keberadaanmu dulu sudah sangat membekas dihatiku dan dihati orang-orang di sekelilingku. Dan aku tak akan pernah lupa itu. :)
Selasa, 22 Juli 2014